Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPARB, CPM*)
Sejarah berdirinya Indonesia bukanlah kisah lembaga-lembaga sipil yang tertib berdiskusi di meja perundingan, melainkan narasi tentang darah, tanah, dan senjata. Ketika Proklamasi 17 Agustus 1945 dibacakan, Indonesia belum memiliki negara—belum ada birokrasi, belum ada hukum yang berjalan, belum ada kepolisian. Yang ada hanya semangat merdeka, senjata peninggalan Jepang, dan keberanian anak-anak bangsa yang mengangkat senjata demi mempertahankan setiap jengkal tanah air. Maka, militer—dalam bentuk laskar, tentara rakyat, dan eks PETA—bukan hanya pembela negara, tapi pendiri de facto republik ini.
Militer Merebut dan Mengisi Kekuasaan
Pada awal kemerdekaan, wilayah Indonesia tidak otomatis dikuasai oleh pemerintahan pusat di Jakarta. Banyak daerah yang dipertahankan dan dikuasai oleh kekuatan bersenjata lokal. Militer muncul sebagai kekuatan terorganisir pertama yang bukan hanya melawan penjajah, tetapi juga menjaga stabilitas sosial. Militer mengisi kekosongan kekuasaan, mengelola logistik, mengatur distribusi pangan, menjaga keamanan desa dan kota, bahkan kadang menjadi penguasa administratif di daerah-daerah yang belum tersentuh struktur sipil.
Inilah fase ketika militer Indonesia memainkan peran historis yang khas: merebut wilayah, lalu menundukkan kekuasaan demi negara.
Pergeseran ke Pemerintahan Sipil dan Pemasungan Militer
Namun, seiring berjalannya waktu, negara harus ditata ulang agar menjadi negara hukum. Maka dimulailah proses pembentukan pemerintahan sipil dan konstitusi. Militer secara perlahan "dimasukkan ke kandang", bukan lagi kekuatan politik, tetapi menjadi alat pertahanan. Apalagi setelah reformasi 1998, militer bukan hanya ditarik dari parlemen dan jabatan sipil, tapi juga dihapuskan hak politiknya secara sistematis.
Kini militer digambarkan seperti "herder penjaga pagar": dijaga ketat, hanya dilepas bila ada ancaman. Ia dilarang menggonggong terlalu keras, apalagi menggigit—meski yang datang mengancam adalah herder asing atau anjing liar dari dalam negeri sendiri. Sementara sebagian masyarakat sipil mulai memandang sinis militer sebagai masa lalu yang kelam.
Prajurit Tua yang Bangkit Bicara
Namun sejarah tidak berhenti di sana. Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena purnawirawan TNI—yang sering dijuluki “prajurit tua”—kembali muncul ke ruang publik. Mereka bersuara. Mereka membuat pernyataan. Mereka mengingatkan negara bahwa dahulu mereka bertempur, terluka, dan mengorbankan jiwa raga demi tanah air yang kini dikelola oleh para sipil muda yang tak pernah merasakan beratnya sepatu lars dan dinginnya laras senjata.
Sayangnya, suara mereka tidak selalu disambut dengan hormat. Sebagian dianggap mengganggu, dicibir sebagai oportunis, bahkan difitnah haus kekuasaan. Ada yang menyebut mereka "sudah ompong", "ketinggalan zaman", atau "tidak tahu diri". Padahal, prajurit tua tidak ingin merebut kekuasaan kembali. Mereka hanya ingin mengingatkan.
Mereka tahu mereka sudah tua. Tapi siapa bilang taring prajurit tua tidak lagi tajam? Seperti komodo yang lamban tapi mematikan, para purnawirawan ini punya pengalaman, jaringan, dan pemahaman tentang negara yang jauh melampaui usia pensiun mereka.
Menghargai Akar, Bukan Menguburnya
Negara ini berdiri bukan hanya karena pena dan pidato. Ia berdiri karena ada prajurit-prajurit muda yang dulu bersedia mati agar merah putih tetap berkibar. Kini mereka menjadi prajurit tua yang bersuara bukan karena haus kekuasaan, tapi karena cinta tanah air yang belum usai.
Mengurung militer adalah kewajiban negara demokratis. Tapi melupakan sejarah peran militer, dan mencemooh prajurit tua yang mengingatkan—itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap akar berdirinya republik ini. Demokrasi yang baik bukan yang membungkam sejarah, melainkan yang berdiri tegak di atas hormat terhadap pengorbanan.
Negeri ini berdiri bukan dari debat seminar, bukan dari diskusi akademik, bukan dari rapat-rapat di gedung ber-AC. Negeri ini lahir dari dentuman senjata dan jeritan luka. Kamilah—prajurit-prajurit muda kala itu—yang membayar harga kemerdekaan dengan darah dan nyawa. Kalian hanya tinggal menempatinya. Tapi mengapa kini kami dicemooh, dijadikan kambing hitam, seolah kami adalah beban sejarah?
Kami yang Merebut, Kalian yang Menikmati
Saat Republik ini diproklamasikan, tak ada struktur negara. Yang ada hanya semangat dan senjata. Maka kami rebut wilayah dari Belanda dan sekutunya. Kami bukan hanya bertempur—kami mendirikan tatanan, menjaga kota, mengatur logistik, dan menegakkan hukum ketika hukum belum ada. Kami lah pilar pertama bangsa ini.
Sekarang, ketika kalian telah nyaman duduk di atas fondasi yang kami bangun, kalian bilang kami tua, kami tidak relevan, bahkan disebut ancaman demokrasi. Ironis. Kalian duduk di atas kursi yang kami rebutkan, tapi meludah ke wajah kami yang sudah renta.
UU TNI Diperbaiki, Kalian Ribut
Ketika Undang-Undang TNI direvisi untuk memperkuat peran pertahanan dan menyesuaikan dengan ancaman masa kini, kalian ribut: “Militer mau kembali ke politik!” Padahal tidak ada satu pasal pun yang menyebut kami ingin merebut kekuasaan sipil.
Kalian ribut saat UU TNI direvisi, tapi diam ketika korupsi merajalela. Diam ketika aparat hukum dikendalikan oleh kepentingan. Diam ketika para pengkhianat bangsa menjual sumber daya ke asing.
Kejaksaan Dilindungi, Kalian Ribut
Ketika prajurit TNI berjaga di kejaksaan—bukan untuk politik, tapi karena ancaman nyata terhadap para jaksa yang berani—kalian ribut lagi: “Militer mau intervensi hukum!” Apakah kalian lupa, bahwa dalam sejarah bangsa ini, militer selalu hadir saat negara terancam? Bukan untuk menguasai, tapi untuk menjaga.
Kalau bukan kami yang menjaga, siapa? Kalian? Yang sibuk debat di media sosial? Yang hanya bisa mengkritik tanpa solusi?
Korupsi Merajalela, Kalian Diam
Ketika negara disusupi maling berseragam rapi, yang menggasak anggaran pembangunan, dana pendidikan, dan bantuan sosial—kalian diam seribu bahasa. Tapi ketika kami—prajurit tua yang sudah pensiun—bicara, mengingatkan, menyuarakan nurani, kalian hina kami: "Sudah tua, pensiun saja!"
Kalian marah saat kami bicara. Tapi kalian diam saat negeri ini dilumat tikus-tikus berdasi.
Kami Bukan Mesin. Kami Manusia yang Pernah Membela Negeri Ini
Militer bukan robot. Kami bukan boneka. Kami manusia. Kami punya hati, punya luka, punya kenangan, dan yang paling penting—kami punya jasa.
Kalian pikir karena kami sudah pensiun, kami tak tahu apa-apa? Salah besar. Justru karena kami sudah selesai dengan ambisi pribadi, kami bisa melihat dengan jernih. Kami bicara bukan untuk kekuasaan, tapi untuk peringatan.
Ingat, Semut Saja Menggigit
Kalau terus kalian sudutkan, kalian hina, kalian tendang harga diri kami—jangan salahkan bila kami menggigit. Bahkan semut jika diinjak pun menggigit. Apalagi kami, prajurit tua, yang masih punya nyali dan masih punya semangat. Jangan paksa kami berdiri lagi hanya untuk menyelamatkan negeri dari tangan kalian sendiri.
Kalian Terlalu Cepat Lupa
Kalian nikmati negeri ini seperti warisan keluarga, lupa siapa yang membangun rumahnya. Kalian duduk di lembaga yang dulu kami lindungi dengan darah. Kalian bersorak dalam demokrasi, tapi lupa siapa yang menjaga batas negara agar demokrasi bisa hidup.
Kami tidak butuh pengakuan. Tapi jangan kalian aniaya dengan fitnah dan cemooh. Kami bukan musuh. Tapi kami juga bukan penonton. Kami adalah penjaga. Bila panggilan datang, kami siap kembali berdiri.
“Kami bukan hantu masa lalu. Kami adalah bayang-bayang sejarah yang selalu ada untuk mengingatkan. Jika kalian terus buta, maka kami akan menjadi suara yang tak bisa kalian bungkam”.
Jakarta 12 Mei 2025
*)KABAIS TNI 2011-2013
Soleman B. Ponto at 23.07