BERITAWAJO.ID, TANASITOLO - Petani itu hanya ingin mengairi sawah. Tapi yang ia temukan adalah tubuh yang diam, dalam dingin dan bau yang menusuk. Langit belum terlalu gelap saat Hatta turun ke sawah. Seperti biasa, ia membawa galon bekas dan selang kecil. Ia hanya ingin mengairi petak kecil miliknya yang mulai mengering setelah dua hari tidak disiram. Tapi senja hari itu, Kamis, 31 Juli 2025, di Lingkungan Bontouse, Kelurahan Pincengpute, Kecamatan Tanasitolo, menjadi saksi bisu dari sesuatu yang tak bisa ia hapus dari ingatannya seumur hidup.
Ada bau. Bau yang tak lazim. Bukan pupuk, bukan bangkai ayam. Bau itu menusuk, tajam, dan mengusik naluri tuanya sebagai petani yang sudah puluhan tahun mengenal aroma lumpur dan batang padi. Lalu ia melihatnya. Sebujur tubuh. Terbaring diam. Di antara batang-batang padi yang seharusnya tumbuh subur. Tapi kali ini, tanah sawah itu menjadi tempat perhentian terakhir bagi seseorang yang dulu punya nama: Muh Arya. Usianya 21 tahun. Masih sangat muda. Terlalu muda untuk mati sendirian di tengah sawah, tanpa suara, tanpa pamit.
Arya, seorang wiraswasta asal Dusun Baru Impa-Impa, Desa Nepo, dilaporkan hilang beberapa hari sebelumnya. Tak ada yang mengira, tubuhnya akan ditemukan dalam keadaan mengenaskan: membusuk, tidak utuh, dan tanpa penjelasan. Hatta tak sanggup berkata banyak. Suaranya gemetar saat memberi tahu warga. Polisi datang, begitu juga warga lainnya. Sebagian memegang ponsel. Sebagian hanya diam, menatap tanah.
“Ada rasa hampa yang tak bisa dijelaskan,” ujar seorang pemuda kampung, pelan. “Kami kenal Arya. Dia bukan orang jahat.” Tim Identifikasi INAFIS dari Polres Wajo tiba pukul 18.30 WITA. Petugas langsung bekerja di bawah cahaya yang mulai meredup. Polisi memasang garis kuning, kamera menyala, mayat dibungkus pelan. Bukan untuk disembunyikan, tapi untuk dijelaskan: kenapa seseorang bisa berakhir seperti ini? Kini, polisi masih menunggu hasil autopsi. “
Penyebab kematian belum bisa dipastikan,” kata Iptu Kaomi, Kasi Humas Polres Wajo, Senin, 4 Agustus. Namun waktu tidak menunggu penjelasan. Hari-hari di Desa Nepo tetap berjalan. Sore tetap datang. Orang-orang tetap pergi ke sawah. Tapi ada yang berubah. Di sawah itu, tanah kini menjadi saksi. Bahwa seseorang pernah datang, lalu hilang, lalu ditemukan dalam senyap. Ia bukan berita, ia manusia. Punya nama: Muh Arya. Punya rumah. Punya keluarga yang kini kehilangan.
Dan di langit Tanasitolo yang mulai gelap, senja hari itu tak hanya memeluk padi-padi yang tumbuh. Ia juga memeluk duka. Duka yang tak keras, tapi dalam. Duka yang diam-diam, seperti bau yang tak bisa dihilangkan.
Penulis : EB
Editor : Edi Prekendes