BERITAWAJO.ID, TANASITOLO - Muhammad Akmal menapaki 20 kilometer di pagi Cenranae, demi sekolah dan masa depannya, Pagi itu, Cenranae, Kelurahan Tancung, Kabupaten Wajo, masih diselimuti embun tipis. Burung-burung berkicau, ayam berkokok dari halaman rumah warga, aroma tanah basah bercampur wangi rumput pagi.
Dari kejauhan, terlihat sosok kecil menapaki jalan tanah yang berdebu. Itu Muhammad Akmal, siswa kelas IX C MTS As’adiyah No. 2 Bontouse. Kaki mungilnya bergerak pelan tapi pasti. Setiap langkah menapak tanah berbatu, menanjak dan menurun. Tas sekolah tergantung di punggungnya, buku-buku sedikit miring. Sesekali ia menoleh, memastikan batu besar atau genangan air tak menghalangi langkahnya.
Aku harus sampai sekolah tepat waktu, tapi hemat tenaga juga,” gumamnya lirih. Matanya memandang lurus ke depan, seakan mengatakan: aku punya mimpi, dan aku tidak akan berhenti. Setiap hari, Akmal menempuh 20 kilometer pulang-pergi. Dua puluh kilometer. Bayangkan, seorang anak berusia belasan tahun berjalan sejauh itu demi Rp 10.000 uang jajan per hari. Kalau dipakai transportasi? Tidak ada uang jajan lagi. Maka, jalan kaki menjadi pilihan. Ia tahu, setiap langkahnya adalah investasi untuk masa depan.
Di tengah perjalanan, Akmal melewati sawah, ladang, dan pepohonan. Suara burung, angin menampar wajahnya, aroma tanah dan rumput menjadi teman setianya. Sesekali ia menunduk sejenak, menatap genangan air, lalu tersenyum. “Aku bisa. Aku harus bisa.” Sesekali ia bertemu tetangga. “Pagi, Akmal! Jalan jauh ya?” sapa Pak Hasan sambil membawa air dari sumur. “Assalamualaikum, Pak! Iya, Pak. Tapi tidak apa-apa,” jawab Akmal sambil tersenyum tipis.
Suatu sore, H. Anwar, MD., SE mantan anggota DPRD Wajo, bertemu Akmal. Ia mengendarai mobil, menawarkan tumpangan pada anak-anak pulang sekolah. Semua naik, kecuali Akmal. “Pung, aku jalan saja,” kata Akmal pelan, menunduk. H. Anwar menatapnya, mata terbelalak. “Jauh rumahmu?” “Ya… lumayan, Pung. Aku jalan supaya bisa menabung uang jajan,” jawab Akmal, matanya bercahaya. Cerita ini menyentuh hati H. Anwar. Ia menggandeng warga untuk mengumpulkan donasi. Rp 2,5 juta terkumpul. Cukup untuk membeli sepeda. Kini, Akmal punya teman baru di jalan: sepeda yang menemaninya ke sekolah. Tapi sepeda itu lebih dari alat. Itu simbol perhatian, simbol harapan, simbol bahwa ada orang yang peduli dan menonton dari jauh.
Kepala MTS As’adiyah No. 2 Bontouse, Jumriani, S.Fil., mengenang masa lalu Akmal. Pernah tinggal di rumah kepala sekolah lebih dari setahun, sejak suami kakaknya meninggal. “Tekadnya luar biasa. Kadang teman membonceng sepeda, tapi dia tetap jalan kaki. Anak ini mengerti arti perjuangan,” ujar Jumriani, suaranya hangat tapi mengandung haru.
Sepanjang perjalanan pagi itu, Akmal melewati sawah hijau, pepohonan rindang, dan jalan tanah berbatu. Angin pagi menampar wajahnya, suara burung, aroma tanah, wangi rumput—semua menjadi teman setia. Setiap langkahnya mengajarkan kesabaran, ketekunan, dan mimpi yang tak kenal lelah. H. Anwar berharap pemerintah lebih peka. “Masih banyak anak-anak seperti Akmal. Mereka menapaki jarak panjang demi ilmu. Mereka butuh perhatian, fasilitas, dan dukungan. Jangan biarkan langkah mereka berat sendirian,” ujarnya.
Kini sepeda barunya berderak lembut di jalan desa, mengiringi Akmal. Tapi lebih dari itu, sepeda itu bergerak bersama harapan, mimpi, dan masa depan. Setiap kayuhan pedal adalah langkah menuju cita-cita. Setiap napasnya adalah bukti keteguhan. Muhammad Akmal berjalan. Setiap pagi. Setiap sore. Setiap hari. Demi sekolah. Demi mimpi. Demi masa depan. Dan kita? Kita hanya bisa menonton, tersenyum haru, menyeka peluh yang bukan milik kita, dan berharap ada tangan-tangan lain yang menopang langkahnya. Agar jalan 20 kilometer itu tidak terasa berat sendirian.
Dan ketika malam turun di Cenranae, Akmal tidur dengan mata lelah tapi hati penuh harapan. Besok, ia akan menapaki jalan yang sama. Dan kita? Kita akan menunggu kisahnya, sambil berharap dunia ikut menapak bersamanya.(Red)
Editor : Edi Prekendes