BERITAWAJO.ID - Di tengah derasnya arus modernisasi sistem kesehatan global, Indonesia masih kerap dihadapkan pada warisan paradigma lama yang belum sepenuhnya ditinggalkan. Salah satunya adalah anggapan bahwa perawat hanyalah "pesuruh dokter". Pernyataan seperti ini bukan sekadar menyakitkan bagi insan keperawatan, namun juga menandakan miskonsepsi mendasar tentang bagaimana pelayanan kesehatan seharusnya dibangun yakni melalui kolaborasi, bukan subordinasi.
Model pelayanan kesehatan berbasis hierarki vertikal, di mana satu profesi mendominasi yang lain, sudah lama dikritik karena tidak efektif dalam menjawab kompleksitas kebutuhan pasien modern. Kini, dunia kesehatan bergerak menuju interprofessional collaborative practice sebuah pendekatan yang menempatkan setiap profesi kesehatan sebagai mitra sejajar dengan kontribusi unik dan tanggung jawab profesional masing-masing.
Bukan Pembantu, Tapi Profesional
Keperawatan, misalnya, bukan sekadar "membantu dokter", tetapi sebuah profesi dengan ilmu, filosofi, dan metode praktik sendiri. Dari Florence Nightingale yang memperkenalkan praktik keperawatan berbasis kebersihan dan lingkungan, hingga Jean Watson yang menekankan pada filosofi caring, keperawatan telah berkembang menjadi pilar penting dalam pelayanan kesehatan modern. Dengan pendekatan holistik bio-psiko-sosio-spiritual, perawat bertugas memberikan asuhan keperawatan yang berkesinambungan selama 24 jam, melakukan penilaian mandiri, mengambil keputusan klinis, dan memberikan edukasi kesehatan.
Mengabaikan fungsi otonom perawat tidak hanya merendahkan martabat profesi, tapi juga menghambat terbentuknya sistem layanan yang efektif. Hal serupa berlaku untuk profesi lain seperti apoteker dengan kompetensinya dalam farmakoterapi, tenaga kesehatan masyarakat dalam promotif dan preventif, serta fisioterapis dalam rehabilitasi fungsional. Setiap profesi memiliki body of knowledge, scope of practice, dan tanggung jawab profesional yang tidak bisa digantikan oleh profesi lain.
Kolaborasi Dimulai dari Bangku Pendidikan
Transformasi sistem kesehatan sejatinya harus dimulai dari pendidikan. Salah satu contoh baik adalah kehadiran Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI), yang menghimpun mahasiswa dari berbagai disiplin kedokteran, keperawatan, kedokteran gigi, farmasi, hingga kesehatan masyarakat dalam satu wadah kolaboratif. Ini membuktikan bahwa kesadaran akan pentingnya kolaborasi sudah mulai tertanam sejak dini, dan perlu terus diperkuat agar menjadi budaya kerja di masa depan.
Kolaborasi interprofesional bukan sekadar idealisme, melainkan kebutuhan nyata. Studi-studi menunjukkan bahwa tim kesehatan yang kolaboratif menghasilkan outcome klinis yang lebih baik,komunikasi yang lebih efektif, dan kepuasan pasien yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, peran setiap profesi bukan untuk "membantu" satu sama lain dalam konteks subordinatif, melainkan untuk saling melengkapi dalam pelayanan yang terintegrasi.
Membangun Sistem Kesehatan Tanpa Feodalisme Profesi
Kini saatnya meninggalkan feodalisme profesi dalam sistem kesehatan. Profesionalisme sejati tidak lahir dari jabatan, tetapi dari akuntabilitas, kompetensi, dan komitmen bersama terhadap kesehatan masyarakat. Kita tidak lagi bertanya, "Siapa membantu siapa?" tetapi “Bagaimana kita berkolaborasi memberikan yang terbaik untuk pasien?”
Mengembalikan martabat profesi kesehatan termasuk perawat berarti juga memperjuangkan sistem kesehatan yang lebih adil, manusiawi, dan efektif. Redefinisi peran profesi kesehatan dari model hierarkis ke model kolaboratif bukan hanya soal etika profesi, tetapi juga tentang masa depan layanan kesehatan Indonesia.
Oleh: Muhammad Raid Nabhan Kepala Bidang Penelitian dan Partisipasi
Pembangunan Kesehatan LKMI HmI Cabang Makassar Timur
Editor : Edi Prekendes