Air mata ini terus mengalir, bukan hanya karena kehilangan, tetapi karena kesaksian atas kemuliaanmu, Ibu. Tangan yang seharusnya memelukmu kini harus mengevakuasi jasadmu dari timbunan longsor. Di tengah puing-puing dan bau lumpur sisa kehancuran, aku menemukanmu... tidak terbaring, tetapi bersimpuh. Jasadmu yang berbalut mukena putih itu utuh dan tenang, ditemukan dalam posisi paling agung bagi seorang hamba: sujud terakhir.
Banjir bandang datang saat Ibu berdiri di hadapan Tuhannya. Saat dunia di sekitarmu runtuh, Ibu memilih untuk tetap teguh, menyambut maut di puncak ketaatan. Kau pergi bukan sebagai korban bencana, tetapi sebagai Syahidah Sujud, wanita yang memilih Keagungan-Nya di atas segala kekacauan dunia. Ibu telah mengajariku dengan cara terakhirmu: Sholat adalah benteng, bahkan saat takdir air bah menghantam.
Aku memeluk mukena yang basah dan berlumpur itu. Dinginnya menyengat, tetapi jiwaku merasakan kehangatan yang tak terperi. Kehilanganmu adalah duka, namun menyaksikan caramu pergi adalah kehormatan dari Tuhan. Air mata ini kini adalah air syukur. Terima kasih, Ibu. Aku akan selalu mengingat pesan keimanan yang kau tinggalkan: Pilihlah Allah, dan Dia akan memilihkan cara terbaik untuk menjemputmu.
Editor : Edi Prekendes



