BERITAWAJO.ID. TANASITOLO - Di sebuah sudut Desa Pajalele, Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, senja terasa lebih berat bagi Ida (58). Rumah panggung yang dulu kokoh kini tinggal rangka rapuh. Dinding kayunya menganga, atap bocor, lantai kayu lapuk hanya sisa-sisa bangunan yang menantang hujan dan matahari.
Saat hujan turun, air menetes dari sela atap, merembes ke lantai. Saat matahari terik, udara panas menyengat ruangan. Ida menempatinya tanpa pilihan lain.
Di rumah yang hampir tak layak disebut rumah itu, Ida hidup bersama anaknya, Ambo Upe (30). Setiap hari Ambo berkeliling mengantar air galon, penghasilan pas-pasan yang hanya cukup untuk kebutuhan makan harian.
“Saya berharap ada bantuan dari pemerintah untuk bedah rumah yang layak huni buat ibu saya,” ucap Ambo pelan, menatap rumah kayu yang kian miring.
Bukan Tanahnya Namun Rumahnya
Pemerintah desa sebenarnya tak tinggal diam. Rivaldi, S.Sos, Kepala Desa Pajalele, bercerita bahwa program bedah rumah sudah dua kali mengulurkan tangan. Namun, Ida menempati tanah bersertifikat milik orang lain—bukan hak milik keluarga.
“Sudah dua kali keluar bantuan bedah rumah, tapi pemilik tanah tidak mau meminjamkan. Kami sudah menawarkan agar beliau pindah ke tanah anaknya di Ujung Baru, tapi Ibu Ida menolak,” tutur Rivaldi.
Rivaldi menambahkan, Ida kerap menunjukkan penolakan keras setiap kali diajak pindah. “Pak Bupati melalui Dinas Tarkim sudah mendata. BAZNAS pun sudah dua kali memberi bantuan. Tapi selama masalah lahan tak selesai, aturan bedah rumah tak bisa dilanggar,” ujarnya.
Bantuan Ada, Tapi Tak Menyentuh Akar Masalah
Sejak pandemi Covid-19, Ida menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) Rp300 ribu per bulan. Bantuan dari BAZNAS Wajo juga beberapa kali diterimanya. Tetapi semua itu tak bisa memperbaiki rumah yang nyaris runtuh.
Bagi Ida, rumah rapuh itu bukan sekadar tempat tinggal. Itu kenangan hidupnya—jejak masa lalu bersama keluarga yang tak ingin ia tinggalkan.
“Dia selalu berkata itu tanahnya. Kami sudah berulang kali membujuk, tapi beliau tetap bertahan,” kata Rivaldi.
Senja yang Penuh Kegetiran
Sore menjelang di Pajalele. Sinar matahari menembus celah dinding yang lapuk, menorehkan cahaya ke wajah Ida yang keriput namun tegar. Meski hujan dan panas silih berganti, Ida memilih tetap tinggal, menjaga rumah yang bagi orang lain mungkin hanya tumpukan kayu renta.
Di balik segala bantuan yang datang, perjuangan Ida menegaskan satu hal: kemiskinan bukan hanya soal angka, tetapi juga tentang ikatan batin, rasa memiliki, dan harga diri.
Catatan Redaksi
Kisah Ida adalah potret nyata tantangan program bedah rumah: regulasi menuntut kepemilikan lahan, sementara sebagian warga miskin terjebak pada keterikatan emosional dengan tanah yang bukan miliknya. Di tengah berbagai program bantuan, Ida tetap berdiri di rumah yang hampir roboh—antara harapan dan kenyataan yang sulit berdamai.
Editor : Edi Prekendes